Apa itu Ilmu Bahasa Generatif?
(What is Generative Linguistics?)

Dalam penelitian saya, saya mengkaji tata bahasa daerah dengan menerapkan teori ilmu bahasa generatif. Teori ilmu bahasa generatif ini adalah aliran penelitian ilmu bahasa yang dicetuskan oleh Noam Chomsky pada tahun 1950-an. Aliran ini menuju ke tiga tujuan:
(1) menemukan kemiripan abstrak antara bahasa-bahasa manusiawi di seluruh dunia.
(2) membangun teori abstrak yang bisa mendeskripsikan kemiripan itu secara persis.
(3) menerangkan kenapada ada kemiripan abstrak seperti itu. Lebih tepatnya, mencari tahu kenapa ada beberapa pola-pola tertentu yang sering ditemukan di bahasa-bahasa di seluruh dunia. Pola ini berada dalam dua sistem linguistik: sintaksis (penyusunan kata dalam satuan yang makin besar sehingga menjadi kalimat) dan fonologi (perubahan huruf dan suara dalam kata dan ritme kalimat).

Tujuan terutama teori ilmu bahasa generatif adalah membangun teori tentang kemampuan manusiawi untuk berbahasa. Rumusan masalahnya diambil dari filsafatnya Plato, seorang filsafat Yunani, yang bertanya begini: "walaupun bahasa-bahasa yang ada di dunia beraneka ragam, kenapa anak-anak bisa belajar bahasa apapun dengan sempurna sampai menjadi penutur fasih?"
Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti ilmu bahasa generatif menggali structur abstrak yang ada di semua bahasa manusiawi. Tidak mungkin anak-anak bisa belajar bahasa apapun kalau tidak ada kemiripan antarabahasa sama sekali. Jadi tidak mengherankan, penelitian ini membeberkan bahwa ada kemiripan abstrak yang jelas dan konsisten antara bahasa. Oleh karena itu, peneliti ilmu bahasa generatif menteorikan bahwa anak-anak sudah punya pengetahuan struktur bahasa abstrak yang dalam sekali ketika lahir. Untuk menjadi penutur bahasa yang fasih, tinggal menghapalkan kosakata dan tata bahasa spesifik yang terdiri dari bahan abstrak yang universal. Pada saat ini, aliran penelitian yang menggali struktur abstrak ini disebut Aliran Minimalis (the Minimalist Program).

Tujuan Ilmu Bahasa Generatif
(The Goals of Generative Linguistics)

Secara konkret, semua teori ilmu bahasa generatif (termasuk aliran minimalis dan teori-teori sebelumnya) menuju ke 2 tujuan:

Kemampuan Untuk Mendeskripsikan (Descriptive Adequacy). Jika ada teori ilmu bahasa yang hanya bisa diterapkan ke beberapa bahasa tertentu, misalnya bahasa-bahasa eropa, itu bukan teori yang lengkap. Teori ilmu bahasa yang lengkap malah harus harus cukup flexibel untuk bisa diterapkan di bahasa apapun di manapun. Makanya, ada keperluan besar untuk memperluas penelitian ilmu bahasa generatif ke bahasa sedunia, termasuk bahasa Indonesia serta semua bahasa daerah Indonesia.
Oleh karena keperluan ini, ada beberapa seminar dan jurnal akademik telaahan sejawat yang berfokus pada dokumentasi dan penerapan teori ilmu bahasa dalam bahasa daerah Indonesia. Misalnya, ada seminar tahunan yang diadakan Perhimpunan Linguistik Formal Bahasa Austronesia (Austroneaisn Formal Linguistics Association; AFLA), untuk meneliti tentang bahasa daerah di Indonesia, Pilipina, Taiwan, dan kepulauan di samudra Pasifik. Ada beberapa jurnal juga yang menerbitkan penelitian terkhusus bahasa wilayah ini, termasuk Ilmu Bahasa Samudra (Oceanic Linguistics) serta Jurnal Ilmu Bahasa Asia Timur (the Journal of East Asian Linguistics).

Kemampuan Untuk Menerangkan (Explanatory Adequacy). Walaupun penting mendeskripsikan bahasa daerah, teori ilmu bahasa tidak boleh menjadi alat deskripsi saja. Ia malah harus bisa menjelaskan secara dalam kenapa ada pola tertentu di bahasa manusiawi. Sebagai contoh, perhatikanlah pola ini dalam sistem fonologi bahasa Jawa.

(1) Dalam bahasa jawa, kata kerja sering digabung dengan awalan. Dari kata pangan yang artinya "makan," misalnya, bisa menambah awalan di- untuk membuat kata di-pangan (di-makan) atau menambah awalan ta' untuk membuat kata ta'-pangan (ku-makan).

(2) Ada beberapa kata kerja yang muncul dengan bentuk singkat, satu suku kata saja, kalau dipasangkan dengan awalan ini. Misalnya, ada kata di-dol "di-jual" dan ta'-dol "ku-jual" yang dibuat dari kata kerja dol "jual." Dalam konteks ini, dol merupakan satu suku kata saja.

(3) Ketika kata kerja ini muncul sendiri, dia menjadi lebih besar. Kalau tidak ada awalan, kata kerja dol ini digandakan menjadi dodol.

Demikian, polanya bisa dideskripsikan begini. Dalam bahasa Jawa, kata kerja selalu wajib mengandung dua suku kata. Ada kata kerja yang satu suku kata saja, seperti dol, yang sering dijadikan kata yang cukup besar dengan penambahan awalan. Tapi di konteks lain, ketika tidak ada awalan, kata kerja seperti ini dikarenakan digandakan oleh syarat fonologi itu supaya mengandung dua suku kata.

Dengan penjelasan ini, pola ini bisa dideskripsikan secara abstrak. Tapi masih ada satu pertanyaan yang lebih dalam: kenapa begitu? Justru ada jawabannya. Dari sudut pandang antarabahasa, pola ini hampir sama dengan pola yang ada di bahasa di seluruh dunia, misalnya bahasa Jepang. Namanya Efek Kekecilan Kata (A "Minimal Word Effect"). Efek Kekecilan Kata ini disebabkan oleh keperluan sistem ritme bicara yang sering dibahas dalam puisi. Atas alasan ritme, suku kata sering dipasangkan dalam satuan kecil di sistem fonologi. Satuan ini disebut kaki meter (Metrical Feet). Kaki meter bisa didengar secara jelas dalam Bahasa Inggris, di mana selalu ada penekanan di suku kata yang berselang-seling (misalnya, dalam nama negara bagian Massachusetts: penekanannya Mássachúsetts).

Dari bahasa Inggris, kita tahu bahwa setiap kata mengandung kaki meter: setiap ada 2 suku kata di 1 kata, salah satunya ditekannan. Dalam bahasa Jawa, tidak ada pola seperti itu. Tapi satuan dua suku kata menjadi penting di konteks lain: dalam sistem kata kerja. Dari sudut pandang itu, bisa dibilang bahwa bahasa Jawa mirip dengan bahasa Inggris: dua-duanya mensyaratkan kata mengandung kaki meter, yang terdiri dari dua suku kata. Makanya tidak boleh ada kata kerja di bahasa Jawa yang mengandung satu suku kata saja.

Dengan cara itu, teori ilmu bahasa generatif bisa menyatukan pola-pola bahasa yang beraneka ragam dan menjelaskan asal-usulnya. Dengan merujuk kepada konsep abstrak, seperti kaki meter atau satuan sintaksis, teori ini bisa mendeskripsikan segala macam pola bahasa, dari sintaksis ke fonologi. Lebih baik lagi, teori ilmu bahasa generatif ini bisa menerangkan kenapa ada pola itu. Maka dari itu, teori ini bisa menjadi alat yang berguna sekali dalam tugas meneliti bahasa dan mencari tahu kenapa tata bahasanya ada.